Wednesday, October 8, 2008

Mak Nyuuuss... Pokok'e Top Markotop

Sahabat Yth,

Berikut petikan dari tanggapan presenter Wisata Kuliner yang tentu saja tidak asing bagi kita semua yang terkenal dengan 'tag line' Mak Nyuuu..ss dan Top Markotop ini. Artikel ini saya angkat bukan karena saya sama-sama dibesarkan di kota Semarang sama dengan Mas Bondan Winarno, juga bukan karena saya sama-sama penggemar makanan enak, hehehe...

Tapi menurut saya tanggapan Beliau ini penting untuk kita renungkan saat kita dalam posisi ingin mengkritik sesuatu hal, apakah kita sudah betul-betul mengerti tentang hal yang kita critic tsb dan bagaimana cara mengemukakan komentar kita tanpa menyakiti perasaan orang yang kita komentari tsb. Berikut tanggapannya:

Pertanyaan:
Mengapa semua makanan yang Anda cicipi selalu diberi komentar "enak"? Tulisnya lebih lanjut: "Sebagai pakar kuliner, Anda tentunya bisa scrutinized makanan yang dicicipi dari segala sisi, sehingga tidak sekadar berkata ‘mmm … enaaak’?"

Jawaban Mas Bondan:
Kalau hanya sekadar berbantah, mudah sekali menjawabnya. Pertama, kenyataannya memang tidak semua makanan saya puji sebagai enak. Ada beberapa yang secara ringan saya beri catatan, misalnya, "bisa lebih bagus" atau "tidak jelek". Kedua, lha saya memang bukan pakar kuliner, kok. Paling banter, sebutan yang pantas saya sandang adalah "tukang makan". Sebagai tukang, pastilah saya memiliki keterampilan (skill) dan kompetensi yang cukup. Ketiga, dan ini yang paling penting, rumah makan dan warung yang kami pilih dalam Wisata Kuliner telah memenuhi kriteria tertentu dan bahkan telah disurvei sebelumnya. Mosok kami memilih rumah makan yang masakannya tidak enak untuk ditampilkan? Tetapi, intinya, baik saya pribadi maupun format acara Wisata Kuliner itu tidaklah diposisikan sebagai food critic, melainkan sebagai food promotor. Urusan saya maupun Wisata Kuliner bukanlah untuk mencari kelemahan dan keburukan dari suatu masakan atau sajian, melainkan menemukan nilai-nilai unik untuk membuat orang lain merasa berkeinginan dan berkepentingan mencicipinya juga.Secara pribadi saya tidak punya keberanian untuk mengeritik makanan karena saya memang tidak punya kredensial untuk melakukannya. Saya tidak punya pendidikan formal sebagai seorang chef profesional. Saya hanyalah tukang masak rekreasional. Kalau menjadi food critic saya tentu akan sering berhadapan dengan orang yang menuduh saya "sok pinter".

Tetapi, sebagai food promotor pun ada job hazard-nya sendiri. Tidak jarang saya dibilang "kejam" oleh pembaca Jalansutra yang air liurnya menetes-netes di atas keyboard komputer karena membaca tentang gudeg ceker di Margoyudan, Solo, yang dimakan dinihari dengan bubur lemu (bubur nasi yang dimasak dengan santan).

Tidak perlu diperdebatkan. Seperti Anda juga, saya pun penggemar makanan enak. Tetapi, saya punya toleransi lebih tinggi terhadap makanan yang kurang enak. Ini ada ceritanya! Di masa kecil saya dulu, saya selalu kebagian tugas membantu Ibu di dapur bila ada jamuan makan di rumah. Padahal, jamuan makan di rumah cukup sering terjadi, antara lain karena Ibu ikut berbagai arisan. Saya tahu bahwa mengupas kulit kacang tanah bukanlah pekerjaan mudah, dan sering membuat kulit ujung jari melepuh. Saya tahu bahwa menumbuk beras menjadi tepung adalah kerja keras. Dapur yang panas karena empat tungku arang menyala sekaligus, bukanlah tempat untuk berlena-lena.

Dari pengalaman itu, saya menyadari bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang punya maksud dan keinginan untuk membuat makanan yang tidak enak. Setuju? Karena itu, kalau ada makanan yang tidak enak, pastilah itu karena "kecelakaan". Atas dasar itu, saya tidak bisa menjadi "raja tega" untuk mengeritik makanan. Kalaupun bumbunya kurang pas, saya mencoba mengapresiasi elemen lain dari sajian itu, sehingga tetap merasa thankful terhadap makanan yang tersaji.

1 comment:

Anonymous said...

bos, gimana kabare ?, semoga baik2 aja yah. semoga sukses di iski yah. good luck